Senin, 13 Mei 2013

Cerpen




            Di tengah kota, hiduplah segerombolan seniman jalanan. Biaya hidup mereka dapatkan lewat seni. Begitu pula dengan Lastri, wanita yang menggantungkan hidupnya sebagai penari jalanan. Terik matahari di siang hari dan dinginnya hembusan angin di malam hari, tidak meruntuhkan semangatnya.
            Suatuhari, Lastri sedang sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Ia merias wajah seperti biasanya agar terlihat cantik saat menari. Namun, tiba-tiba rasa sakit menguasai kepalanya. Dadanya terasa sakit. Bukan hal yang sepele, karena Lastri tiba-tiba batuk darah. Ini baru pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Akan tetapi, ia tetap kekeh untuk bekerja siang itu.
Bersama penari lainnya, Lastri menuju jalan di sudut kota. Ia menari dengan lemah gemulai. Selang beberapa waktu kemudian, sakit kepalanya datang kembali. Dengan satu tangan memegang kepala dan tangan lain terus menari. Ia tetap memaksakan diri.
Di sebuah perusahaan di dalam kota yang sama, ada seorang pria yang bekerja sebagai karyawan. Doni namanya. Dia belum lama bekerja di perusahaan itu.Ya, kira-kira masih dua tahun. Umurnya pun terhitung masih muda. Dua puluh dua tahun.
Suatu hari, saat Doni duduk di depan meja kerjanya, ia mendapatkan satu masalah. Pak Effendy, pimpinan perusahaan itu tiba-tiba datang kepadanya.
“Doni, lihat hasil kerjamu!”,ucap Pak Effendy dengan nada marah dan membanting berkas-berkas ke meja kerja Doni.
“Maaf pak, ada apa dengan hasil kerja saya? Saya sudah melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini”, sahut Doni.
“Apa? Yang terbaik? Seperti ini kamu bilang yang terbaik?”, Tanya Pak Effendy dengan nada yang semakin tinggi.
Doni hanya bisa diam dan menunduk. Ia pun tak percaya jika hasil kerjanya seburuk itu.
“Muilai detik ini, kamu angkat kaki dari perusahaan saya. Kamu saya pecat!”,ucap Pak Effendy dan kemudian beranjak meninggalkan Doni.
Dengan wajah muram, Doni perlahan membereskan alat kantornya. Ia terlihat sangat lesu. Ia pun segera menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah. Doni sangat putus asa. Ia menyerah dan tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Doni menghentikan laju mobilnya. Matanya tertuju pada segerombolan seniman jalanan. Ya, Lastri dan kawan-kawannya. Doni terus memandangi dan lama-lama pandangannya berubah menjadi rasa kagum. Matanya berbinar . Ia salut kepada seniman jalanan itu. Mereka tidak menyerah dalam menjalani hidup dan terus bersyukur dengan kehidupan yang dijalani. Sebuah senyum melengkung jelas di bibir Doni. Seniman jalanan itu telah mengajarkannya banyak hal dalam waktu yang singkat.
Lastri. Ya, ia tetap setia dengan pekerjaan yang dijalaninya meskipun hasilnya tidak seberapa. Ia terus mengumpulkan rupiah demi rupiah . Menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur.
Tidak ada yang bisa menghalangi waktu. Tahun demi tahun terus berjalan. Hingga Lastri kini memasuki hari tuanya. Tentu saja Lastri tidak lagi bekerja sebagai penari jalanan. Lastri sudah pindah ke kota lain.
Suatu hari di pagi hari, sebuah mobil mewah berhenti di sudut kota tempat Lastri dulu bekerja. Seorang wanita tua keluar dari mobil itu. Rambutnya terlihat memutih dan di sanggul rapi. Ia memandangi gedung-gedung di sekitarnya. Tidak disangka, wanita tua itu adalah Lastri si penari jalanan. Dengan kegigihannya, ia sekarang menjadi orang yang sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar