Di tengah kota, hiduplah segerombolan
seniman jalanan. Biaya hidup mereka dapatkan lewat seni. Begitu pula dengan Lastri,
wanita yang menggantungkan hidupnya sebagai penari jalanan. Terik matahari di
siang hari dan dinginnya hembusan angin di malam hari, tidak meruntuhkan semangatnya.
Suatuhari, Lastri sedang sibuk mempersiapkan
diri untuk bekerja. Ia merias wajah seperti biasanya agar terlihat cantik saat menari.
Namun, tiba-tiba rasa sakit menguasai kepalanya. Dadanya terasa sakit. Bukan hal
yang sepele, karena Lastri tiba-tiba batuk darah. Ini baru pertama kalinya ia mengalami
hal seperti ini. Akan tetapi, ia tetap kekeh untuk bekerja siang itu.
Bersama penari lainnya, Lastri menuju jalan di sudut kota. Ia
menari dengan lemah gemulai. Selang beberapa waktu kemudian, sakit kepalanya datang
kembali. Dengan satu tangan memegang kepala dan tangan lain terus menari. Ia tetap
memaksakan diri.
Di sebuah perusahaan di dalam kota yang sama, ada seorang pria
yang bekerja sebagai karyawan. Doni namanya. Dia belum lama bekerja di
perusahaan itu.Ya, kira-kira masih dua tahun. Umurnya pun terhitung masih muda.
Dua puluh dua tahun.
Suatu hari, saat Doni duduk di depan meja kerjanya, ia mendapatkan
satu masalah. Pak Effendy, pimpinan perusahaan itu tiba-tiba datang kepadanya.
“Doni, lihat hasil kerjamu!”,ucap Pak Effendy dengan nada
marah dan membanting berkas-berkas ke meja kerja Doni.
“Maaf pak, ada apa dengan hasil kerja saya? Saya sudah melakukan
yang terbaik untuk perusahaan ini”, sahut Doni.
“Apa? Yang terbaik? Seperti ini kamu bilang yang terbaik?”,
Tanya Pak Effendy dengan nada yang semakin tinggi.
Doni hanya bisa diam dan menunduk. Ia pun tak percaya jika hasil
kerjanya seburuk itu.
“Muilai detik ini, kamu angkat kaki dari perusahaan saya. Kamu
saya pecat!”,ucap Pak Effendy dan kemudian beranjak meninggalkan Doni.
Dengan wajah muram, Doni perlahan membereskan alat kantornya.
Ia terlihat sangat lesu. Ia pun segera menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.
Doni sangat putus asa. Ia menyerah dan tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Doni menghentikan laju mobilnya.
Matanya tertuju pada segerombolan seniman jalanan. Ya, Lastri dan kawan-kawannya.
Doni terus memandangi dan lama-lama pandangannya berubah menjadi rasa kagum. Matanya
berbinar . Ia salut kepada seniman jalanan itu. Mereka tidak menyerah dalam menjalani
hidup dan terus bersyukur dengan kehidupan yang dijalani. Sebuah senyum melengkung
jelas di bibir Doni. Seniman jalanan itu telah mengajarkannya banyak hal dalam waktu
yang singkat.
Lastri. Ya, ia tetap setia dengan pekerjaan yang dijalaninya meskipun
hasilnya tidak seberapa. Ia terus mengumpulkan rupiah demi rupiah . Menjalaninya
dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur.
Tidak ada yang bisa menghalangi waktu. Tahun demi tahun terus
berjalan. Hingga Lastri kini memasuki hari tuanya. Tentu saja Lastri tidak lagi
bekerja sebagai penari jalanan. Lastri sudah pindah ke kota lain.
Suatu hari di pagi hari, sebuah mobil mewah berhenti di sudut
kota tempat Lastri dulu bekerja. Seorang wanita tua keluar dari mobil itu. Rambutnya
terlihat memutih dan di sanggul rapi. Ia memandangi gedung-gedung di sekitarnya.
Tidak disangka, wanita tua itu adalah Lastri si penari jalanan. Dengan kegigihannya,
ia sekarang menjadi orang yang sukses.