Selasa, 30 April 2013

Cerpen



Namaku Domini. Aku tinggal di tengah keluarga sihir di tepi kota Stronton. Ya, semua anggota keluargaku memiliki kekuatan sihir termasuk aku.Tentu saja tidak lepas dari jasa nenekku yang selalu mengajarkan segala hal tentang sihir.Ibuku adalah anak tunggal nenekku,  dan aku adalah cucu tunggal baginya. Jadi tidak heran kalau nenekku sangat dekat denganku.
Nenek menginginkan agar aku menjadi penyihir yang baik hati. Dia selalu mengingatkan  agar aku menggunakan ilmu sihir untuk kebajikan dan sebagai perlindungan diri.
Aku belajar ilmu sihir sejak usiaku menginjak tujuh tahun. Tepatnya delapan tahun yang  lalu. Kemampuanku semakin berkembang, dari kemampuan dasar seperti menggerakkan benda-benda kecil, sampai mampu mengangkat benda yang memiliki beban berat. Kini aku bisa menguasainya dengan baik berkat nenek. Namun yang harus kuingat adalah mantra sihir yang diajarkan nenek. ‘PorobraAdibra’ diikuti jari telunjuk yang menunjuk ke arah benda sasaran.
Sore itu, aku dan nenek sedang duduk di bangku taman belakang rumahku. Taman ini tidak begitu luas, tetapi sangat nyaman.Bunga-bunga bermekaran sejauh mata memandang. Udaranya sangat sejuk. Tidak salah apabila aku menjadikannya sebagai tempat favoritku.
Aku dan nenek saling bercerita satu sama lain mengenai sihir. Sihir memang sudah tidak bisa lepas dari kami, mungkin telah menjadi kebutuhan pokok. Sampai pada akhirnya perbincangan kami terhenti. Aku melihat benda aneh yang melayang di sela-sela pagar taman. Sontak aku bertanya pada nenek.
“Nek, benda apa itu?” tanyaku tiba-tiba sambil menujuk benda itu. Secara tidak langsung aku telah mengejutkan nenek.
“Ah apaitu? Nenek juga tidak tahu”, jawab nenek sambil mengangkat kedua bahunya.
“Bagaimana kalau kita mengikuti benda itu?” tawarku.
Mungkin karena rasa penasaran yang sama, nenek langsung mengangguk tanda persetujuan. Kami segera keluar taman melalui pintu belakang. Dengan langkah cepat kami mengikuti bendaitu.
Langkah kami terhenti saat benda aneh itu tidak terlihat lagi. Suasana di sekeliling berubah menjadi sepi. Kami terjebak di hutan! Aku langsung panik, tetapi nenek tetap menenangkan. Hingga akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk mencari jalan keluar.
“Aaaaw…!” teriak kami serentak. Kami terperosok ke dalam jurang yang cukup curam. Tak ada cahaya disana. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Aku melihat secercah cahaya dari salah satu sudut. Akhirnya kami menuju ke arah cahaya itu berasal.
Baru beberapa jengkal melangkah, kami sudah dihadang oleh tiga monster raksasa. Matanya bulat dan besar. Dua kali lebih tinggi dariku. Dan baunya sangat tidak enak. Entah meraka sudah berapa lama tidak mandi.
Aku terpaku, napasku terhenti sejenak. Rasa takut menguasai pikiranku. Namun sekali lagi, nenek menenangkanku. Kali ini meminta bantuanku untuk menyatukan sihir kita. Tentu saja aku tidak menolaknya.
Pertama, nenek memintaku untuk fokus pada batu besar di dekat kami. Dengan cepat aku mengetahui maksud nenek. Pandangan terfokus dan telunjuk kami bersamaan menunjuk batu tersebut. Nenek menghitung, satu…dua…tiga…PorobraAdibra! Batu itu pun melayang dan menghantam ketiga tubuh monster itu. Sayangnya, mereka masih bertahan.
Karena misi pertama kurang berhasil, kami melanjutkan misi yang kedua. Nenek mendekat dan membisikkan sesuatu. Keningku mengernyit. Aku memandang nenek tak percaya. Bagaimana tidak, ia menyuruhku untuk melayangkan debu ke mata monster-monster itu. Memang aku pernah membaca buku sihir yang menjelaskan bahwa debu dapat melemahkan binatang buas. Tetapi bagaimana dengan monster dihadapanku ini. Aku saja tidak mengerti sebenarnya makhluk apa itu. Apa mungkin bisa? Ya, mungkin nenek lebih tau.
Akhirnya aku mengiyakan permintaan nenek. Dengan cepat kami mengucapkan mantra bersamaan. Telunjuk kami mengarah pada debu-debu di tanah.
“PorobraAdibra!”
Mulutku menganga. Memandang tak percaya. Kemudian nenek menatapku dan tersenyum padaku. Makhluk yang kusebut monster itu pun terjatuh tak berdaya. Debu-debu itu berhasil melemahkan meraka. Apa mungkin mereka sejenis hewan? Ah, mengapa aku memikirkan hal itu. Yang terpenting adalah misi ini berhasil.
Nenek kembali mendekat dan berkata sesuatu. Sepertinya ia belum puas. Ia masih ingin melanjutkan misinya. Ya, misi terakhir. Aku sedikit ragu dengan kemampuan sihirku untuk misi yang satu ini. Aku baru saja mempelajarinya beberapa hari yang lalu. Tetapi tak apalah, tak ada salahnya aku mencoba.
“Apa kau sudah siap, Nak?” Tanya nenek mencoba meyakinkanku.
Aku mengangguk dengan cepat. Perlahan menghilangkan segala keraguanku. Tiba-tiba saja udara di sekitar terasa menipis bagiku. Aku menghela napas pelan-pelan. Sepertinya aku terlalu berlebihan. Nenek menepuk pundakku dan tersenyum.
Kali iniaku yang menghitung, satu…dua…tiga…PorobraAdibra! Dan kali ini sasaran sihir kami adalah tubuh ketiga monster itu sendiri. Aku menunjuk tubuh mereka dengan mata tertutup, dengan rasa penuh kekhawatiran atas kemampuanku.
Terdengar suara ledakan yang seketika membelalakkan mataku. Mulutku menganga. Napasku kembali terhenti. Bagaimana tidak, tiga monster besar yang ada dihadapanku tadi berubah menjadi tiga ekor katak. Aku menoleh kearah nenek. Ia malah tertawa melihat ekspresiku. Sungguh aku tak percaya.
Akhirnya kami melanjutkan langkah yang tadi sempat tertunda. Secercah cahaya semakin terlihat dan lama kalamaan menjadi sekumpulan cahaya. Kami terus menyusuri jalan sampai akhirnya kami sampai di tepi hutan.
Betapa lega hatiku sekarang. Aku langsung memeluk nenek dengan riang. Nyatanya, dalam keadaan genting kami dapat menyelamatkan diri. Asalkan tetap dalam hati yang tenang, usaha, dan juga doa. Hal yang tidak terduga pun dapat terjadi melalui kejadian sederhana.

Puisi

Malaikat di Hidupku
Karya : Nadia Kholifia

Saat ku terperangkap dalam jebakan hidup
Kau bebaskan aku dengan kasihmu
Putihnya cintamu lukiskan ikhlasmu
Dalam menjagaku dari kejamnya dunia

Segala doa kau panjatkan di setiap malam
Agar kudapati hidup yang damai
Jauh dari kerasnya ujian hidup
Dan menjadi sosok yang kau mau

Ibu ....
Kau adalah malaikat dalam hidupku
Karenamu, ku dapat menghirup udara dunia
Apapun takkan cukup tuk gantikan juangmu

Nasihatmu tak pernah henti sertaiku
Kau ingatkan aku betapa liarnya dunia
Kau ajarkan aku segala hal
Tuk dapati masa depan cerah




Aku Tanpamu
Karya : Nadia Kholifia

Malamku mulai berlalu
Namun tak satupun bintang datang untukku
Penantian yang melahirkan luka dalam jiwa
Perlahan menyurutkan senyum dan bahagiaku
Seolah tak lagi menggenangi
Hatiku kering dan tandus tanpamu
Tatkala ku lelah akan penantianku
Aku mencari embun tuk sejukkan hati
Tuk tegarkan hati ini
Hati yang telah mati karenamu
Senyummu adalah lukaku
Jika itu terlontar saat kau jauh
Saat kau bahagia tanpaku



Cinta Yang Semu
Karya : Nadia Kholifia

Lama kuterjerat dalam lubang kesunyian
Mencari cela untuk lari dari kenyataan
Ku terus melangkah tanpa ku tau arah
Menapaki terjangnya bukit kehidupan
Ku rasa semakin jatuh dan lumpuh
Saat ku tak mampu merasakan hadirmu
Kau ada disini, tetapi tidak hatimu
Kau hadirkan senyum dan tawamu yang semu
Dimanakah cintamu yang dulu
Yang selalu hadirkan kesejukkan dalam hatiku
Masih adakah ruang dalam hatimu
Yang dulu pernah kau buka untukku
Hanya satu keyakinan hatiku
Kelak kau akan mengerti
Betapa besar ketulusan hati ini



Masih Ada Waktu
Karya : Nadia Kholifia

Kemana raga ini terbawa
Ketika angan masih terhalang
Mencari-cari tempat berlabuh
Untuk memulai dari awal
Pagi masih menyambut hari
Masih ada waktu bagi kita
Untuk merobohkan tembok penghalang
Dan mengejar matahari
Hati ikut berteriak bangkitkan raga
Untuk berkelana mengejar mimpi
Mengadahkan tangan di setiap malam
Memohon atas ridho-Nya
Terbitkan terang dalam perjalanan
Masih ada waktu bagi kita
Wujudkan mimpi yang sempat padam
Sebelum semuanya kembali gelap