Namaku
Domini. Aku tinggal di tengah keluarga sihir di tepi kota Stronton. Ya, semua anggota
keluargaku memiliki kekuatan sihir termasuk aku.Tentu saja tidak lepas dari jasa
nenekku yang selalu mengajarkan segala hal tentang sihir.Ibuku adalah anak tunggal
nenekku, dan aku adalah cucu tunggal baginya.
Jadi tidak heran kalau nenekku sangat dekat denganku.
Nenek
menginginkan agar aku menjadi penyihir yang baik hati. Dia selalu mengingatkan agar aku menggunakan ilmu sihir untuk kebajikan
dan sebagai perlindungan diri.
Aku
belajar ilmu sihir sejak usiaku menginjak tujuh tahun. Tepatnya delapan tahun
yang lalu. Kemampuanku semakin berkembang,
dari kemampuan dasar seperti menggerakkan benda-benda kecil, sampai mampu mengangkat
benda yang memiliki beban berat. Kini aku bisa menguasainya dengan baik berkat nenek.
Namun yang harus kuingat adalah mantra sihir yang diajarkan nenek. ‘PorobraAdibra’
diikuti jari telunjuk yang menunjuk ke arah benda sasaran.
Sore
itu, aku dan nenek sedang duduk di bangku taman belakang rumahku. Taman ini tidak
begitu luas, tetapi sangat nyaman.Bunga-bunga bermekaran sejauh mata memandang.
Udaranya sangat sejuk. Tidak salah apabila aku menjadikannya sebagai tempat favoritku.
Aku
dan nenek saling bercerita satu sama lain mengenai sihir. Sihir memang sudah tidak
bisa lepas dari kami, mungkin telah menjadi kebutuhan pokok. Sampai pada akhirnya
perbincangan kami terhenti. Aku melihat benda aneh yang melayang di sela-sela pagar
taman. Sontak aku bertanya pada nenek.
“Nek,
benda apa itu?” tanyaku tiba-tiba sambil menujuk benda itu. Secara tidak langsung
aku telah mengejutkan nenek.
“Ah
apaitu? Nenek juga tidak tahu”, jawab nenek sambil mengangkat kedua bahunya.
“Bagaimana
kalau kita mengikuti benda itu?” tawarku.
Mungkin
karena rasa penasaran yang sama, nenek langsung mengangguk tanda persetujuan.
Kami segera keluar taman melalui pintu belakang. Dengan langkah cepat kami
mengikuti bendaitu.
Langkah
kami terhenti saat benda aneh itu tidak terlihat lagi. Suasana di sekeliling berubah
menjadi sepi. Kami terjebak di hutan! Aku langsung panik, tetapi nenek tetap menenangkan.
Hingga akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk mencari jalan keluar.
“Aaaaw…!”
teriak kami serentak. Kami terperosok ke dalam jurang yang cukup curam. Tak ada
cahaya disana. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Aku melihat secercah cahaya
dari salah satu sudut. Akhirnya kami menuju ke arah cahaya itu berasal.
Baru
beberapa jengkal melangkah, kami sudah dihadang oleh tiga monster raksasa. Matanya
bulat dan besar. Dua kali lebih tinggi dariku. Dan baunya sangat tidak enak. Entah
meraka sudah berapa lama tidak mandi.
Aku
terpaku, napasku terhenti sejenak. Rasa takut menguasai pikiranku. Namun sekali
lagi, nenek menenangkanku. Kali ini meminta bantuanku untuk menyatukan sihir kita.
Tentu saja aku tidak menolaknya.
Pertama,
nenek memintaku untuk fokus pada batu besar di dekat kami. Dengan cepat aku mengetahui
maksud nenek. Pandangan terfokus dan telunjuk kami bersamaan menunjuk batu tersebut.
Nenek menghitung, satu…dua…tiga…PorobraAdibra! Batu itu pun melayang dan menghantam
ketiga tubuh monster itu. Sayangnya, mereka masih bertahan.
Karena
misi pertama kurang berhasil, kami melanjutkan misi yang kedua. Nenek mendekat dan
membisikkan sesuatu. Keningku mengernyit. Aku memandang nenek tak percaya. Bagaimana
tidak, ia menyuruhku untuk melayangkan debu ke mata monster-monster itu. Memang
aku pernah membaca buku sihir yang menjelaskan bahwa debu dapat melemahkan binatang
buas. Tetapi bagaimana dengan monster dihadapanku ini. Aku saja tidak mengerti sebenarnya
makhluk apa itu. Apa mungkin bisa? Ya, mungkin nenek lebih tau.
Akhirnya
aku mengiyakan permintaan nenek. Dengan cepat kami mengucapkan mantra
bersamaan. Telunjuk kami mengarah pada debu-debu di tanah.
“PorobraAdibra!”
Mulutku
menganga. Memandang tak percaya. Kemudian nenek menatapku dan tersenyum padaku.
Makhluk yang kusebut monster itu pun terjatuh tak berdaya. Debu-debu itu berhasil
melemahkan meraka. Apa mungkin mereka sejenis hewan? Ah, mengapa aku memikirkan
hal itu. Yang terpenting adalah misi ini berhasil.
Nenek
kembali mendekat dan berkata sesuatu. Sepertinya ia belum puas. Ia masih ingin melanjutkan
misinya. Ya, misi terakhir. Aku sedikit ragu dengan kemampuan sihirku untuk misi
yang satu ini. Aku baru saja mempelajarinya beberapa hari yang lalu. Tetapi tak
apalah, tak ada salahnya aku mencoba.
“Apa
kau sudah siap, Nak?” Tanya nenek mencoba meyakinkanku.
Aku
mengangguk dengan cepat. Perlahan menghilangkan segala keraguanku. Tiba-tiba saja
udara di sekitar terasa menipis bagiku. Aku menghela napas pelan-pelan. Sepertinya
aku terlalu berlebihan. Nenek menepuk pundakku dan tersenyum.
Kali
iniaku yang menghitung, satu…dua…tiga…PorobraAdibra! Dan kali ini sasaran sihir
kami adalah tubuh ketiga monster itu sendiri. Aku menunjuk tubuh mereka dengan mata
tertutup, dengan rasa penuh kekhawatiran atas kemampuanku.
Terdengar
suara ledakan yang seketika membelalakkan mataku. Mulutku menganga. Napasku kembali
terhenti. Bagaimana tidak, tiga monster besar yang ada dihadapanku tadi berubah
menjadi tiga ekor katak. Aku menoleh kearah nenek. Ia malah tertawa melihat ekspresiku.
Sungguh aku tak percaya.
Akhirnya
kami melanjutkan langkah yang tadi sempat tertunda. Secercah cahaya semakin terlihat
dan lama kalamaan menjadi sekumpulan cahaya. Kami terus menyusuri jalan sampai akhirnya
kami sampai di tepi hutan.
Betapa
lega hatiku sekarang. Aku langsung memeluk nenek dengan riang. Nyatanya, dalam keadaan
genting kami dapat menyelamatkan diri. Asalkan tetap dalam hati yang tenang,
usaha, dan juga doa. Hal yang tidak terduga pun dapat terjadi melalui kejadian sederhana.